Jakarta, Autoblackid.blogspot.com - Hebohnya demonstrasi yang dilakukan para supir taksi tentunya membuat
kita geram dan mengutuk para supir taksi yang melakukan tindakan
anarkis serta vandalisme. Namun jika kita mengingat peribahasan “Tak ada
asap jika tidak ada api”, tentunya kita harus mengetahui akar
permasalahan dari Uber vs Taksi ini.
Banyak orang yang menyalahkan perusahaan taksi yang enggan
beradaptasi dengan aplikasi online dan menyamakan fenomena ini dengan
koran yang tergantikan dengan website atau kantor pos dengan email.
Menurut opini saya, perumpamaan ini salah besar. Karena di negara-negara
lainpun seperti Prancis dan German yang taksi mereka sudah terintegrasi
dengan aplikasipun, mereka tetap memprotes Uber dan melarang layanan
aplikasi tersebut disana.
Salah satu pemandangan interior taksi di Hong Kong
Di Indonesia sendiri, langkah mendigitalisasi taksi sudah dimulai
dari 2014 melalui aplikasi Easy Taxi. Sayangnya aplikasi ini tidak
begitu populer meskipun sudah memiliki banyak promo pada awal mereka
berdiri. Kemudian GrabTaxi juga ikut meramaikan pasar aplikasi
perpesanan taksi di tahun 2015, sayangnya lagi ternyata aplikasi ini
tidak menarik minat masyarakat, karena masyarakat lebih senang dengan
cara pemesanan taksi konvensional dengan cara menunggu di lobby, cegat
di jalan atau melalui pemesanan telepon. Setelah adanya GrabCar dan
Grabbike, baru aplikasi ini booming di Indonesia.
Kemudian di tahun 2014 Uber hadir juga di Indonesia, Uber
mendeklarasikan diri mereka sebagai aplikasi ride sharing yang
menghubungkan antara rental mobil dengan para pelanggan Uber. Uber hanya
bisa diakses melalui aplikasi online, karena mereka tidak bisa mencegat
di jalan seperti taksi. Tarif yang dikenakan juga persis taksi, yaitu
menggunakan argo dari point A ke point B yang dikalikan dengan tarif
jarak tempuh dan durasi perjalanan. Secara penghitungan tarif, jelas
Uber menggunakan cara yang sama dengan taksi dengan model argo, bedanya
ia hanya bisa dipesan secara online.
Untuk saya, Uber bukanlah perusahaan aplikasi penghubung rental ataupun ride sharing. Karena konsep
ride sharing
yang sebenarnya seperti “Nebengers”, ketika kita memiliki mobil pribadi
dan ingin berpergian dari titik A ke titik B, kita mengumumkan bahwa
kita mempersilahkan orang lain untuk nebeng dengan ketentuan yang sudah
ditetapkan. Jangan buat ide “
ride sharing” menjadi bisnis yang sudah ditetapkan tarifnya dan kita mengantar orang seperti taksi.
“Nebengers”, konsep ride sharing yang sebenarnya
Uber juga bukan rental mobil, karena konsep bisnis rental mobil
adalah penyewaan, dimana konsep sewa adalah peminjaman barang atau jasa
dengan model “
time based” seperti sewa harian, mingguan,
bulanan atau tahunan. Jika sewa dihitung berdasarkan jarak tempuh, maka
hal tersebut bukanlah menyewa kendaraan, hal tersebut adalah praktik
“taksi gelap”, dan ini sudah berlangsung lama jauh sebelum ada Uber dan
Grabcar. Coba anda ke bandara, nanti ada orang yang menawarkan jasa
taksi tanpa argo, tiba-tiba pas sampai mobilnya ternyata mobil plat
hitam biasa. Dan praktik taksi gelap ini sudah sering kucing-kucingan
dengan dishub di bandara jauh sebelum ada Uber dan GrabCar. Dan tidak
jarang yang melakukan praktik ini adalah perusahaan rental mobil juga.
Kemudian kita kenal Uber dan GrabCar dengan tarif yang nyaris
setengah taksi. Saya sendiri adalah pelanggan kedua aplikasi tersebut,
dan jujur saja setelah ada Uber dan GrabCar, tentunya saya tidak lagi
naik taksi kecuali jika kepepet. Asiknya lagi, Uber dan GrabCar
menawarkan hal lain dibandingkan taksi biasa karena Uber serta Grabcar
bisa mengangkut lebih dari 4 penumpang karena kebanyakan armada mereka
adalah MPV 7 seater. Ditambah mobil mereka memiliki plat hitam dan tidak
dibekali dengan livery atau sticker taksi. Lumayan bisa gengsi di depan
calon mertua bukan?
Demo anarkis supir taksi terhadap Uber juga terjadi di negara maju
Sedangkan taksi, mereka tentu saja adalah pihak yang tergusur disini,
selain tarif mereka harus mengikuti ketetapan tarif minimum yang diatur
Pemda setempat, ia juga harus melakukan KIR, menggunakan plat kuning,
mendekorasi mobil mereka dengan stiker dan juga mereka hanya bisa
menggunakan mobil 5 penumpang saja seperti sedan. MPV juga boleh kok,
cuma bangku belakangnya harus dilepas seperti yang Blue Bird lakukan
pada Honda Mobilio Taksi.
Seperti Uber dan GrabCar, pengemudi taksi juga bisa memiliki mobil
sendiri untuk dijadikan armada taksi lewat ownership program, hanya saja
program ini tidak begitu diminati oleh supir, karena mobil yang ia beli
akan mengalami depresiasi yang cukup banyak karena jenis mobil yang
digunakan dan jarak tempuh mobil eks-taksi tidak begitu diminati oleh
calon pembeli mobil bekas.
Bahkan mereka juga menutup jalan raya seperti yang terjadi di Indonesia
Sedangkan Uber dan GrabCar? Ya tentu saja bisa lebih murah dengan
tidak mengikuti regulasi taksi yang berlaku, apalagi mobil tersebut
adalah milik pribadi yang nebeng bendera rental untuk bergabung dengan
salah satu aplikasi tersebut. Disinilah masalah dimulai, dengan tarif
yang lebih rendah, tentu saja orang-orang lebih memilih memesan Uber dan
Grabcar melalui aplikasi dibandingkan memesan taksi konvensional
meskipun sama-sama bisa dipesan melalui aplikasi. Cobalah anda membuka
aplikasi GrabTaxi, dimana ada pilihan untuk memesan taksi, GrabCar,
GrabBike dan Grab Express, ketika membandingkan tarif antara grabcar
dengan taxi di aplikasi tersebut, jelas saja kita akan memilih GrabCar.
Buat saya, Uber dan GrabCar adalah perusahaan aplikasi teknologi
penghubung antara pengguna taksi dengan armada taksi gelap.
Jika kita ambil garis merah dari kedua aplikasi berbasis online
tersebut, sudah jelas bahwa taksi ditinggalkan bukan karena tidak bisa
dipesan secara online, tetapi karena harga yang ditawarkan Uber dan
GrabCar lebih murah dibandingkan dengan Taksi. Hanya saja Uber dan
GrabCar tidak bisa dipesan dengan cara lain selain melalui aplikasi,
sehingga terlihat seperti perusahaan taksi enggan ber-inovasi dengan
teknologi. Jika Uber dan GrabCar yang melanggar aturan seperti ini
dibiarkan terus, berkembang dan mengusik penghasilan para supir taksi.
Jelas gelombang protes seperti di Prancis dan negara-negara lain akan
berlanjut seperti halnya di Indonesia.
Untuk lebih lengkapnya bagaiman rasanya menjadi pengendara Uber, saya
juga telah menuliskan sebelumnya dalam artikel yang bernada sarkasme
di
Taksi Indonesia Harusnya Ikuti Uber dan GrabCar Agar Bisa Bersaing!
- sumber Autonetmagz.net